Partai Komunis Merusak Kebudayaan Bangsa

Segala sesuatu dari Partai Komunis China (PKC) adalah demi kepentingan politiknya untuk dapat meraih, melindungi dan memperkokoh kekuasaan zalimnya. PKC telah menggantikan watak manusia dengan watak partai yang jahat, menggantikan kebudayaan tradisional dengan kebudayaan partai yang “palsu-jahat-agresif”.

Kebudayaan adalah sukma dari suatu bangsa, adalah unsur spiritual yang sama pentingnya dengan unsur-unsur materi seperti ras dan tanah.

Sejarah peradaban suatu bangsa adalah sejarah perkembangan kebudayaan dari bangsa tersebut, perusakan secara menyeluruh atas budaya bangsa menandakan musnahnya suatu bangsa. Bangsa-bangsa kuno yang menciptakan peradaban gemilang dalam sejarah umat manusia, mungkin ras mereka beruntung masih tetap eksis, tetapi bangsa mereka telah sirna seiring lenyapnya kebudayaan tradisional mereka. Sama halnya seperti sekarang orang-orang tidak akan menyamakan penduduk asli di benua Amerika Latin dengan bangsa Maya kuno. Sedangkan Tiongkok sebagai negara satu-satunya di dunia yang mewariskan secara berkelanjutan peradaban kuno selama 5000 tahun, perusakan terhadap kebudayaannya lebih-lebih merupakan sejenis perbuatan dosa yang amat besar.

“Pan Gu menciptakan langit dan bumi”, “Nuwa menciptakan manusia”, “Shen Nong menciptakan aneka tumbuhan”, “Cang Ji menciptakan huruf”, semua ini telah mengukuhkan awal mula kebudayaan warisan Dewa. “Manusia mengikuti bumi, bumi mengikuti langit, langit mengikuti Tao (jalan kebenaran), Tao menuruti alam”, doktrin aliran Tao yang menyatukan langit dan manusia telah meresap kedalam sendi-sendi kebudayaan Tionghoa. “Inti pelajaran di sekolah tinggi, utamanya pada pembinaan akhlak”, Konghucu pada dua ribu tahun lalu mendirikan balai pendidikan mengajar murid, mengajarkan kepada masyarakat “kebajikan-persaudaraan-kesopanan-kebijaksanaan-keyakinan” yang mewakili doktrin aliran Konghucu. Pada abad pertama, Dharma Buddha Sakyamuni yang berupa “penyelamatan secara universal dengan belas kasih” disebarkan ke Timur, telah lebih memperkaya kebudayaan Tionghoa. Doktrin Konghucu, Buddha dan Tao, tiga aliran ini saling berefleksi menyatu, menciptakan masa jaya dinasti Tang yang gilang gemilang sebagai goresan sejarah dalam dunia.

Meskipun kebudayaan bangsa Tionghoa pernah mengalami banyak sekali perusakan dan pukulan dalam sejarah, kebudayaan tradisional Tionghoa senantiasa menampakkan daya peleburan dan daya vitalitas yang amat besar, inti sarinya tetap diwariskan temurun. “Langit dan manusia menyatu” mewakili pandangan nenek moyang bangsa Tionghoa terhadap alam semesta. “Perbuatan baik dan jahat pasti ada balasannya” merupakan pengetahuan umum di tengah masyarakat. “Sesuatu yang diri sendiri tidak menghendaki, jangan dilakukan kepada orang lain” adalah dasar moral kebaikan sebagai seorang manusia. “Setia – berbakti – berbudi luhur – persaudaraan” adalah standar hidup bagi seseorang. “Kebajikan – persaudaraan – kesopanan – kebijaksanaan-keyakinan” adalah sebagai fondasi moral untuk menstandarisasi manusia dan masyarakat. Dengan prasyarat tersebut, kebudayaan Tionghoa telah menampakkan ketulusan, kebaikan, keharmonisan, toleransi dan ciri khas baik lainnya. Ritual pemujaan yang dilakukan rakyat kebanyakan, mencerminkan kandungan makna kebudayaan yang tertanam berurat dan berakar, antara lain berupa penghormatan terhadap Dewa (langit dan bumi), kesetiaan terhadap negara, perhatian terhadap hubungan keluarga, dan penghargaan terhadap guru. Kebudayaan tradisional Tionghoa mendambakan keharmonisan langit dan manusia, menitik-beratkan penyempurnaan batin individu, dengan keyakinan kultivasi dari doktrin Konghucu-Buddha-Tao sebagai akar, sehingga dapat merangkum segalanya dan dapat berkembang, dapat mempertahankan moralitas di dunia, dapat membuat manusia memiliki keyakinan tulus.

Perbedaan pengekangan kebudayaan dengan pengekangan secara peraturan adalah pengekangan kebudayaan bersifat lembut. Peraturan menitik-beratkan pada hukuman setelah berbuat kesalahan, sedangkan pendidikan moral dari kebudayaan memerankan fungsi untuk mencegah tindakan kejahatan. Nilai-nilai moralitas dari suatu masyarakat acapkali tercermin melalui kebudayaannya.

Dalam sejarah Tiongkok, masa dinasti Tang di mana kebudayaan tradisional mencapai puncak kejayaan, justru adalah masa puncak kejayaan dari kekuatan negara Tiongkok. Ketika itu dari benua Eropa, Timur Tengah, Jepang dan tempat lainnya mengutus orang belajar ke Chang-An (ibu kota). Negara tetangga juga menjadikan Tiongkok sebagai negara induk, mereka berdatangan memberikan persembahan. Setelah dinasti Qin, Tiongkok seringkali diduduki oleh bangsa minoritas, termasuk masa-masa dinasti Xui, Tang, Yuan dan Qing, tetapi mereka hampir semuanya diasimilasi oleh budaya Han (Tiongkok asli). Ini tidak dapat dikatakan bukan disebabkan oleh kekuatan asimilasi yang raksasa dari kebudayaan tradisional, persis seperti yang dikatakan oleh Konghucu: “Jika orang dari jauh tidak mau patuh, dekatilah mereka dengan kebudayaan dan akhlak”.

Semenjak tahun 1949 Partai Komunis China (PKC) merebut kekuasaan, maka mulailah mendayagunakan seluruh kekuatan negara untuk merusak kebudayaan bangsa Tionghoa. Ini mutlak bukan perbuatan bodoh yang dilakukan karena timbulnya fanatisme pada industrialisasi, atau keinginannya untuk mendekatkan diri pada peradaban Barat, melainkan bentuk pemikirannya yang bertolak belakang dengan kebudayaan tradisional. Oleh karena itu perusakan kebudayaan yang mereka lakukan sudah pasti terorganisir, berencana dan sistimatis, lagipula dengan menggunakan kekerasan dari kekuatan negara sebagai beking. Sejak pendirian partai hingga sekarang, “revolusi” PKC terhadap kebudayaan Tionghoa tidak pernah berhenti, dan mereka betul-betul mencoba secara menyeluruh “menyembelih” kebudayaan Tionghoa.

Yang lebih parah lagi, PKC terus menggunakan cara-cara curang dalam menghadapi kebudayaan tradisional. Mereka mengembangkan praktek-praktek pergulatan dalam istana raja, konspirasi meraih kekuasaan, penerapan kediktatoran, dan lain-lain, yang kesemuanya muncul setelah orang-orang menyimpang dari kebudayaan tradisional. Kemudian menciptakan seperangkat teori milik mereka yang menyangkut standar penilaian baik dan buruk, cara pemikiran dan sistem pembicaraan, dan juga agar orang-orang menganggap “kebudayaan partai” semacam ini barulah merupakan warisan kebudayaan tradisional. Bahkan memanfaatkan antipati orang-orang terhadap “kebudayaan partai”, untuk lebih lanjut membuat seseorang mencampakkan kebudayaan tradisional Tionghoa yang sesungguhnya.

Ini telah menimbulkan akibat yang membawa malapetaka bagi Tiongkok. Bukan saja membuat hati seseorang kehilangan ikatan nilai-nilai moral, bahkan secara paksa PKC telah mengindoktrinasionalkan ajaran-ajaran jahatnya.

I. Mengapa Partai Komunis Ingin Merusak Kebudayaan Bangsa

Kebudayaan Tionghoa bersejarah amat panjang, dengan keyakinan sebagai pokok, moralitas sebagai yang dihormati
Kebudayaan orang Tionghoa yang sebenarnya diawali oleh Huang-Di sejak lima ribu tahun silam, oleh sebab itu Huang-Di disebut sebagai “leluhur awal budaya manusia”. Sesungguhnya Huang-Di juga adalah pendiri doktrin aliran Tao Tiongkok. Doktrin Konghucu sangat dipengaruhi oleh aliran Tao, kitab “Zhou-Yi” yang mengurai tentang langit dan bumi, Yin-Yang, alam semesta, masyarakat dan hukum kehidupan manusia, oleh aliran Konghucu disanjung sebagai “induk dari aneka kitab”. Ilmu prediksi yang terdapat di antaranya bahkan ilmu pengetahuan modern juga sulit melacak apa dasar perhitungannya. Doktrin aliran Buddha, terutama doktrin sub-aliran Zen, telah membawa pengaruh secara halus yang tak terasa bagi para cendekiawan.

Doktrin aliran Konghucu adalah bagian “tingkat duniawi” dari kebudayaan tradisional Tionghoa, mengutamakan norma-norma hubungan keluarga. Di antaranya ajaran “berbakti” telah menduduki porsi yang sangat besar, dengan ungkapan “segala kebajikan diawali dengan berbakti”, Konghucu memprakarsai kebajikan, persaudaraan, kesopanan, kebijaksanaan dan keyakinan.

Norma-norma hubungan keluarga dapat secara alami diperluas menjadi norma-norma masyarakat. “Berbakti” dijulurkan ke atas menjadi “kesetiaan pejabat terhadap penguasa”, “hormat terhadap yang lebih tua” adalah hubungan antara saudara dalam keluarga, dapat diperluas menjadi “persaudaraan” sesama teman. Aliran Konghucu mengajarkan kasih sayang orang tua, bakti anak terhadap orang tua, persahabatan antara saudara, penghormatan adik terhadap kakak, di antaranya “kasih sayang dapat dijulurkan ke bawah menjadi “kebajikan” penguasa terhadap pejabat.” Asalkan adat istiadat dalam rumpun keluarga dipertahankan, maka norma-norma masyarakat dengan sendirinya juga dapat dilestarikan, ini adalah “membina watak pribadi, menyempurnakan keluarga, memerintah negara dan menentramkan dunia”.

Doktrin aliran Buddha dan aliran Tao adalah bagian “luar duniawi” dalam kebudayaan tradisional Tionghoa. Pengaruh Buddha dan Tao terhadap kehidupan masyarakat umum boleh dikatakan tersebar di mana-mana. Ilmu-ilmu pengobatan Tiongkok kuno, qigong, Hongsui, ramal-meramal yang berakar mula dari doktrin aliran Tao, bersama kepercayaan adanya surga dan neraka, perbuatan baik dan jahat pasti ada balasannya, yang berasal dari doktrin aliran Buddha, serta norma-norma dari aliran Konghucu, semua ini telah membentuk inti kebudayaan tradisional Tionghoa.

Keyakinan dari tiga macam aliran Konghucu, Buddha dan Tao telah membangun seperangkat sistem moralitas yang amat kokoh bagi orang-orang Tionghoa, yang disebut “langit tidak berubah, Tao niscaya tidak berubah”. Perangkat sistem moralitas ini adalah fondasi yang berfungsi sebagai sandaran bagi masyarakat untuk tetap eksis, stabil dan harmonis.

Moralitas yang termasuk dalam lingkup spiritual sering kali bersifat abstrak, sedangkan suatu fungsi penting dari kebudayaan, adalah untuk menyampaikan sistem moralitas tersebut secara populer.

Dengan mengambil empat karya budaya besar berikut sebagai contoh. “Xi You Ji” (Kisah Perjalanan Ke Barat, lebih dikenal dengan legenda Kera Sakti) yang memang adalah cerita dongeng; “Hong Lou Mung” (Impian Balkon Merah) yang pada awalnya juga dijelujuri unsur-unsur dongeng; “Shui Fu Zhuan” (Kisah Para Pahlawan dari Gunung Liang) yang mengisahkan asal usul 108 pendekar; “Shan Guo Yan Yi” (Cerita Tiga Negara atau Sam Kok) yang dimulai dengan peringatan bencana alam, dan diakhiri dengan “peristiwa di dunia tak pernah ada habisnya, apa yang menjadi takdir tak akan terloloskan”.

Semua ini mutlak bukan merupakan kebetulan yang mengilhami sang penulis, melainkan adalah pandangan dasar dari kaum intelektual Tiongkok saat itu terhadap alam semesta dan kehidupan manusia. Hasil karya kebudayaan mereka membawa pengaruh yang sangat dalam bagi generasi berikutnya. Sehingga orang Tionghoa sekali membicarakan tentang “persaudaraan”, yang terpikir tidak hanya berupa sebuah konsep, melainkan berbagai kisah dan tokoh yang berkaitan dengan hal ini. Seperti Guan-Yu sang tokoh dalam cerita Samkok yang menjunjung tinggi persaudaraan dalam situasi apa pun, serta kisah-kisah perjalanannya; saat berbicara tentang “kesetiaan”, dengan sendirinya akan terpikir tentang kisah Yue Fei yang setia pada negara dengan sepenuh hati, serta Zhu Ge Liang dalam cerita Sam Kok yang membaktikan segenap jiwa raganya hingga akhir hayat, dan lain-lain.

Pujian terhadap “kesetiaan” di dalam nilai-nilai tradisional, melalui karya kaum intelektual yang berupa kisah-kisah menarik diperlihatkan secara gamblang di depan para pembaca. Dengan demikian, ajaran moralitas yang abstrak, telah dibuat menjadi konkret dan berbentuk melalui cara-cara kebudayaan.

Aliran Tao berbicara tentang “sejati”, aliran Buddha berbicara tentang “kebajikan”, aliran Konghucu berbicara tentang “kesetiaan dan pengampunan”. Walaupun bentuk luarnya berbeda, namun pemahaman dari sisi dalamnya sama, tak lain adalah merujuk pada kebaikan. Ini baru merupakan letak basis yang paling berharga dari kebudayaan tradisional yang berakar pada keyakinan “Konghucu, Buddha dan Tao”.

Dalam kebudayaan tradisional menjelujur unsur-unsur “langit, Tao, Dewa, Buddha, nasib, takdir, kebajikan, persaudaraan, kesopanan, kebijaksanaan, keyakinan, kejujuran, rasa tahu malu, kesetiaan, rasa bakti, keluhuran jiwa” dan lain-lain. Banyak orang mungkin seumur hidup buta huruf, namun mereka sangat akrab di telinga bahkan ingat sekali terhadap drama dan jalan cerita tradisional. Bentuk-bentuk kebudayaan yang demikian adalah jalur penting bagi kalangan rakyat untuk memperoleh nilai-nilai tradisional. Maka perusakan PKC terhadap kebudayaan tradisional adalah secara langsung merusak moralitas Tiongkok, juga adalah merusak fondasi kestabilan dan kedamaian masyarakat.

Leave a comment