Archive for November 4th, 2012

perlindungan konsumen

November 4, 2012

UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya. Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah: Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33. Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821 Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat. Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen

KASUS WASKITA DAN KELEMAHAN IMPLEMENTASI GCG INDONESIA

November 4, 2012

Terungkapnya skandal Waskita Karya, salah satu BUMN Jasa Konstruksi yang diduga melakukan rekayasa laporan keuangan patut dicermati secara mendalam. Di tengah gembar gembor pelaksanaan implementasi good corporate governance (GCG) BUMN, kasus ini memberikan tamparan keras untuk Kementerian Negara BUMN. Kasus Waskita, yang disebut-sebut sebagai Enron-nya Indonesia menunjukkan bahwa Kementerian Negara BUMN perlu berupaya lebih keras lagi dalam implementasi GCG di BUMN.
Terbongkarnya kasus ini berawal saat pemeriksaan kembali neraca dalam rangka penerbitan saham perdana tahun lalu. Direktur Utama Waskita yang baru, M. Choliq yang sebelumnya menjabat Direktur Keuangan PT Adhi Karya (Persero) Tbk, menemukan pencatatan yang tak sesuai, dimana ditemukan kelebihan pencatatan Rp 400 miliar. Direksi periode sebelumnya diduga melakukan rekayasa keuangan sejak tahun buku 2004-2008 dengan memasukkan proyeksi pendapatan proyek multitahun ke depan sebagai pendapatan tahun tertentu.
Kasus ini memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, implementasi GCG di Indonesia ternyata masih sekedar formalitas belaka. Fakta ini terungkap dari keengganan Direksi Waskita melaksanakan GCG di Waskita. Walaupun di Waskita telah beberapa kali assessment (pemetaan) implementasi GCG, namun tetap saja kasus ini tidak terlacak. Hal ini menunjukkan betapa canggih dan cermatnya penutupan jejak dari kasus ini. Hasil assessment GCG yang dilakukan Konsultan, pada akhirnya kemungkinan besar hanya menjadi hiasan lemari Direksi belaka, yang digunakan sebagai “penggugur kewajiban” terhadap kewajiban implementasi GCG. Hal ini menguatkan hipotesa penulis yang beberapa kali mengungkapkan bahwa jika GCG hanya sekedar menjadi formalitas, maka tunggulah saat kehancurannya. Tunggulah saatnya dimana bom waktu siap meledak dan menimbulkan guncangan skandal sebagai akibat lemahnya implementasi GCG.
Kedua, terlihat bahwa terjadi kerjasama sistemik melakukan rekayasa keuangan yang dilakukan karena lemahnya fungsi internal control. Hal ini menunjukkan bahwa pihak-pihak yang melakukan internal control mulai dari Dewan Komisaris sampai dengan Internal Audit tidak melakukan fungsinya dengan baik. Hal ini patut disayangkan mengingat GCG merupakan alat kontrol yang menciptakan check and balances yang digunakan dalam pengawasan pengelolaan perusahaan. Kementerian BUMN selaku pemegang saham dalam hal ini tidak dapat disalahkan, mengingat selaku pemegang saham Kementerian BUMN telah menempatkan wakilnya untuk melakukan pengawasan yang melekat pada diri Dewan Komisaris. Selain itu, potensi terjadinya kerjasama dengan Auditor Eksternal semakin mencuatkan dugaan kasus ini sebagai kasus Enron-nya Indonesia.
Ketiga, GCG di BUMN belumlah menjadi corporate culture. Implementasi GCG pada hakikatnya adalah menjadi corporate culture. Lemahnya implementasi GCG menunjukkan bukti bahwa GCG baru sampai tataran compliance driven, belum menjadi culture. Tidak menjadi culture pada hakikatnya membuka peluang terjadinya fraud. Fraud dapat dengan mudah terjadi, apabila insan perusahaan mendiamkan saja terjadinya pelanggaran. Kebijakan whistleblower yang memungkinkan terjadinya pelaporan pelanggaran secara dini penulis nilai juga belum diterapkan di Waskita.

Langkah Selanjutnya
Apa yang harus dilakukan selanjutnya? Nasi telah menjadi bubur. Citra BUMN yang beberapa tahun terakhir menunjukkan tren positif seiring dengan pelaksanaan implementasi GCG berpotensi terpuruk kembali. Tidak bisa tidak, penyelesaian masalah ini harus dilakukan secara menyeluruh dan sistemik dengan menggabungkan paradigma GCG dan penegakan hukum.
Langkah pertama adalah dengan mengusut tuntas dan jelas pihak-pihak yang terlibat. Kementerian BUMN telah melakukan langkah tepat dengan mengganti direksi yang diduga terlibat dalam perkara ini. Namun demikian, mengganti direksi saja tidaklah cukup. Perlu dilakukan pembersihan besar-besaran terhadap intern Waskita dengan mengganti para pihak yang terlibat. Jika hanya pimpinannya saja yang diganti, tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang kasus ini akan terulang. Auditor Eksternal yang membantu pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab di Waskita dalam melakukan rekayasa keuangan harus dihukum seberat-beratnya, baik perusahaan maupun individunya. Jika Auditor Eksternal telah dapat dibeli oleh manajemen, kepada siapa stakeholders harus percaya?
Langkah kedua adalah dengan memperkuat implementasi GCG. Kementerian BUMN harus menyadari bahwa penguatan implementasi GCG mutlak diperlukan agar kasus yang sama tidak terulang. Kementerian BUMN tidak cukup hanya dengan “memaksa” BUMN memiliki kelengkapan infrastruktur dan softstructure, namun harus menekankan pada tataran implementasi. Perusahaan dapat menunjuk konsultan yang akan menginternalisasi dan menginstitusionalisasi penerapan GCG secara menyeluruh dan holistik. Paradigma pendekatan GCG yang compliance driven harus ditinggalkan dan diganti dengan penerapan GCG sebagai corporate culture. GCG haruslah menjadi sistem, struktur dan budaya yang satu sama lain tidak terpisahkan. Kasus ini diharapkan menjadi pemicu maraknya implementasi GCG, yang selama beberapa tahun ini kelihatannya adem ayem belaka.
Langkah ketiga adalah dengan menerapkan dan memperkuat internal control system dan kebijakan whistleblower. Internal control system yang dimiliki BUMN selama ini sangatlah lemah dan tidak tertata dengan rapi. Tindakan yang dilakukan baru sebatas mengobati sesuatu yang telah terjadi, belum sampai pada tahap pencegahan.
Selain itu, sangat sedikit BUMN yang memiliki kebijakan whistleblower dan menerapkannya. Kebijakan ini akan sangat bermanfaat untuk mendeteksi terjadi fraud. Pelapor harus dilindungi dari kemungkinan balas dendam dan tindakan berbahaya lainnya dari pihak yang dilaporkan. Berkaca pada Cinthya Cooper, whistleblower kasus Worldcom yang meraih persons of the year dari majalah Time, maka Cinthya hanyalah seorang internal auditor biasa. Cinthya hanya internal auditor yang melaksanakan tugasnya sehari-hari. Dalam pelaksanaan tugasnya inilah Cinthya menemukan kecurangan yang dilakukan jajaran top management Worldcom. Ini menunjukkan bahwa dengan sistem yang kuat, pelanggaran akan dapat diminimalisir. Bayangkan beban yang harus ditanggung tidak hanya oleh negara namun juga oleh karyawan Waskita? Bayangkan kerugian yang ditanggung hanya demi memperoleh citra dan kebaikan belaka.
Pada akhirnya, kita semua berharap agar kasus ini tidak terulang lagi di masa mendatang. Direksi, Dewan Komisaris, insan perusahaan BUMN haruslah benar-benar menghayati dan memaknai penerapan implementasi GCG, agar GCG di BUMN tidak hanya sekedar menjadi kata-kata indah belaka, namun menjadi sesuatu yang dilaksanakan dengan tepat, komprehensif dan membumi. Let’s join with The GCG Way!

*Penulis adalah Partner MUC Consulting Group – Governance Consultant dan Direktur Riset dan Pengembangan POLIGG (Policy & Law Institute for Good Governance)